Hari itu, ketika segerombolan preman mendatangi rumahku. Tak ada perlawan, aku turuti apa yang dikatakan preman itu. Tak lama kemudian diseretlah ke mobil polisi yang berada di ujung gang rumahku. Sesampainya di kantor polisi, terlihat para petugas sedang bersantai, dan terlihat ada yang sedang tertidur pulas. Tak lama kemudian muncul seorang polisi muda menyeretku ke ruang introgasi. Aku berada di depan meja dengan tumpukan kertas yang berserakan. Sambil membereskan kertas polisi itu memulai memberiku sebuah pertanyaan.
"Siapa namamu?" Tanya polisi
"Jawab!! siapa namanu?" Sambil mendobrak meja yang berada di depanku hingga kertas jatuh dan berserakan satu persatu.
"Broto"
"Berapa umurmu?”
"18 tahun pak"
"Masih kecil sudah pinter ngewe! Apa mau jadi gigolo?!"
"Jika Tuhan menghendaki, itu bisa terjadi" sautku
Apa yang dimaksut polisi itu? Mungkin dia salah menangkap orang. Banyak kasus di negara ini yang terbukti bersalah dinyatakan bebas, yang tidak bersalah di jebloskan kedalam penjara. Hukum memang kejam. Lalu, muncul seorang gadis yang aku kenal, namanya Laksima. Dia bersama Ibunya menuju ruang introgasi.
"Ini dia yang telah memperkosaku" katanya, aku bingung dengan ya ia katakan.
"Dasar anak tak tau malu, tak pernah diajari sopan santun!. Apa yang telah kau lakukan kepada anaku ini? Kau telah merenggutnya. Kau telah merampas sesuatu berharga yang seharusnya dia berikan kepada suaminya kelak!." Suara sumbang seorang perempuan paruh baya itu mengancam kupingku.
"Maafkan aku"
"Maafmu tak berguna lagi, apakah ada kata lain selain maaf?" Suaranya ibu itu lebih sumbang daripada tadi
Telepon berbunyi, Polisi itu segera mengangkat teleponya dan keluar meninggalkan kita bertiga di dalam ruang introgasi. Terlihat Laksima menangis, Aku mengerti maksud tangisannya itu, Laksima tidak bermaksud melaporkanku kepada polisi, Aku yakin bukan dia. Ini merupakan kelicikan Ibu Laksima yang mata duitan itu, Laksima sering bercerita tentang Ibunya yang mempunyai kepribadian yang begitu buruk. Tak lama kemudian Ibu Laksima mendekatiku dan tersenyum satir.
"ganti rugi apa yang telah kau perbuat kepada anakku. Berikan uang sebesar sepuluh juta maka akan aku cabut tuduhan ini!” perkataan yang sudah aku tebak.
Ketika seseorang berbicara masalah uang berarti dia berbicara tentang kedamaian. Sekarang dengan uang kita bisa membeli apa saja, sampai harga diripun sekarang sudah di nominalkan. Tak lama kemudian, polisi itu masuk kedalam ruang introgasi. Lalu Ibu Laksima melanjutkan aktingnya, terdengar teriakan yang begitu lancang keluar dari Ibu Laksima.
“Proses anak itu seadil-adilnya pak!" Teriak Ibu tadi. Lalu aku lihat mata dari Laksima yang begitu bening tersebut menjadi lebih sayu, air mata sudah tak dapat dibendung lagi. Lalu laksima dan ibu meninggalkan kami. Menuju pintu keluar.
"Ibu itu yang telah melaporkanmu" kata polisi itu
"Tapi pak, apa yang telah aku perbuat?"
"Dia melapor bahwa kamu telah mencabuli anaknya" kata polisi itu.
"Siapa yang mencabuli pak? Aku tak merasa mencabuli dia!" Sautku
"Kau melakukan hubungan intim kan?"
"tidak, itu tidak benar “
“jangan bohong! Dasar kurang ajar!” sambil memukul kepalaku.
“seharusnya jangan tanya kepada saya pak. Tanyakan kepada Laksima, apa yang telah ia perbuat kepadaku, dia yang meminta.”
Hari-hari telah beralalu Aku dan keluargaku membayar uang damai kepadanya sebesar sepuluh juta, dan akirnya dia mencabut tuduhan itu, masalah sudah selesai. Tak terasa ujian untuk masuk ke perguruan tinggi semakin dekat, aku masih tak punya angan-angan untuk melanjutkan sekolahku ini menuju jenjang yang lebih tinggi. Aku merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan kemarin, sehingga mengurangi semangatku untuk bersekolah. Tiba-tiba terlihat Bapak muncul dari balik pintu, dengan rokok ditangan kanan dan teh ditangan kiri.
“kau tak mau sekolah lagi?” kata Bapak sambil duduk mendekatiku
“tidak mau pak” jawabku
“berapa kali kau membuatku kecewa le. Bersekolahlah,untuk memperbaiki apa yang telah kau perbuat hari-hari lalu. Jangan biarkan masa lalu mengambil alih dirimu.” Bapak
“jika bukan Aku, siapa yang melakukanya? Apakah Aku punya kembaran? Itu Aku pak. Aku telah membuat situasinya menjadi begini.” Sautku
“ bukan kamu, tetapi jiwalah yang menggantikanmu. Tubuhmu menolak sekuat-kuatnya, akan tetapi jiwa dan hawa nafsu membuat koalisi dan mengalahkanmu” katanya sambil menghisap rokok yang berada di tangan kananya yang telah keriput. Tak lama kemudia Ia melanjutkan perkataannya.
“ditubuh ini nukan hanya kamu saja yang hidup, di tubuh ini kita hanya mampir. Tubuh ini bagaikan hotel. Banyak yang menimpang. Antara lain, jiwa, nafsu,raga dan salah satunya dirimu. Mereka mempunyai tugas masing masing. Dan dirimu merupakan bos dari mereka, kau bisa mencegah apa yang mereka inginkan atau kau bisa mengiyakan apa yang mereka inginkan. Hanya saja kita tak bisa membatasi apa yang mereka perbuat.”
Bapak menghentikan pembicaraanya dan merogoh hp yang berada di dalam sakunya. Tak lama kemudian terdengar lagu klennengan
Tak lelo lelo lelo ledung
Duh menenengo ojo pijer nangis
Anaku seng bagus rupane
Nyen nangis ndak ilang baguse
“lagu ini adalah lagu yang sering aku nyanyikan kepadamu ketika kamu masih kecil le. Kau tak akan ingat bagaimana bapak menyayikan lagu itu untukmu, karena kamu masih umur 5 bulan. Aku yang merawatmu ketika ibumu sudah tak bisa lagi menemanimu sampai kamu menikah” sambil menghela nafas.
Suaranya sayup-sayup karena tidak dengan volume yang cukup tinggi, semacam sriwedari atau suara gamelan yang terdengar samar-samar. Konon, dimainkan oleh dewa-dewi khayangan membuat hatiku lebih tentram.
“sudahlah,ternyata aku sedang berbicara dengan orang asing, seperti bukan anakku yang dulu. Aku mau tidur. Jika kamu mau sekolah lagi, bersiap-siaplah seminggu lagi akan kukirim kau ke rumah pakdhe yang berada di kota sebelah ” lalu dia berdiri dari kursi dan masuk kedalam rumah meninggalkan gelas,rokok dan koreknya.
rokok dan korek itu seakan menarik perhatianku. Aku ambilah rokok itu dan mencobanya, ini adalah pertama kalinya Aku merasakan rokok. Meskipun tidak enak, akan tetapi dapat membuatku nyaman. Bersama rokok,teh,bintang dan malam aku berunding menuentukan keputusanku untuk kembali bersekolah.
Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju kota. Di sebuah stasiun terlihat begitu banyak orang berdesak-desakan untuk mengantri sebuah tiket untuk perjalananya menuju kota yang akan mereka sambangi. Orang-orang sibuk dengan urusanya masing-masing, terlihat juga tangisan yang menandakan sebuah kehilangan atau perpisahan. Tak lama kemudian kereta yang aku tunggu akirnya muncul juga, Aku cek tiket untuk mengetauhi dimana akan duduk, yaitu B-26. Kunaiki kereta tersebut dan perpisahan ini merupakan lembaran baruku.
Kota ini berbeda dengan kampungku, pengguna jalan sangat ugal-ugalan, macet dimana-mana, tiada detik tanpa klakson mobil. Betapa indahnya asap yang mengepul di buntut kendaran- kendaraan yang lewat. Gedung-gedung menghiasi jendela-jendela kaca, menjadi suasana baru untuk menjalani kehidupanku. Kota ini adalah saksi perjalananku selama delapan tahun, aku telah menjadi seorang dosen muda yang berada di Universitas kota ini. Aku tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik daripada ketika aku berada di kampung halaman, jauh dari orang tua menjadikanku mandiri terhadap kehidupan ini. Aku telah menutup buku dan cerita lampauku. Sudah tak pernah kubaca lagi, sudah kuhapus dalam ingatan. Aku berada dalam buku baru dengan tema yang baru , dan aktor yang baru juga.
Nina adalah seorang yang berada dalam catatanku ini, seorang yang setia menemaniku dan memberikan semangat kepadaku ketika sedang berada dalam masalah. Seorang yang menemaniku beberapa tahun ini, dan seseorang yang telah aku nikahi untuk menjadi seorang ibu bagi anak-anaku, meskipun belum di anugerahi seorang anak. Tak dapat yang banyak kusampaikan tentang nina, karena Aku telah kehabisan kata-kata untuk mengambarkan kebaikan Nina. Dan kata-katapun tak bisa untuk menggambarkan betapa indahnya Nina. Pernikahanku dan Nina berjalan lancar mulus selama dua tahun ini, tak ada masalah besar yang menimpa keluarga kita. Meskipun sudah dua taun menikah masih menunjukan keromantisan seperti orang yang baru menikah. Berentung aku beristrikan dia.
“maafkan aku, aku belum bisa mendapatkan anak darimu” Nina
“kenapa harus minta maaf? Masih belum waktunya, Tuhan masih menginginkan kita bermesraan berdua seperti dulu.” Jawabku sambil mengelus rambutnya yang pendek se pundak itu.
“iya mas” sambil mengerutkan bibirnya
“ jika aku hamil, mas mau bayi laki-laki apa perempuan?”
“terserah Tuhan yang ngatur, hehe” jawabku
Tiba-tiba terdengar suaru bel.
“ ada tamu, tolong tengok, siapa yang datang Nin”
Nina menuju ke pintu untuk melihat siapa tamu yang datang pada saat hujan lebat ini. Setelah ia membukakan pintu terlihat seorang wanita muda dan seorang anak kecil yang berumur 7 tahun.
“mencari siapa?” Tanya Nina
“apakah benar ini rumah dari pak Broto?”
“iya benar. Ibu siapa? Sebentar saya panggilkan dulu”
Betapa terkeutnya diriku ketika melihat Laksima dan Anak kecil itu berada di depan rumahku. Terlihat Laksima kembali meneteskan air mata.
“ aku titip anak ini kepadamu, ini adalah anakmu. Kemana saja kamu selama ini? Kau tak mengerti apa yang telah aku rasakan, membesarkan anak seorang diri , tanpa bantuan seorang Ayah yang merupakan seseorang yang penting baginya.”
“ Apa maksudnya ini?”
“ini adalah anak kamu 8 tahun lalu. Ketika kau sedang berada dalam penjara, aku telah hamil muda, seharusnya aku tidak mengatakan perkataan semacam itu, karena aku tahu kau telah mempunyai istri. Aku hanya ingin kau merawat putri kita, karena aku akan pergi menuju Thailand untuk kerja disana” sambil menghapus air mata dan meninggalkan rumahku.
Kutengok kebelakang, terlihat Nina seakan tidak percaya akan sesuatu yang didengarnya. Lalu, Nina berlari menuju kamar, dan membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Terdengar tangisan yang begitu kencang dari kamar tersebut. ini merupakan masalah terbesar dari perjalananku bersama Nina. Setelah tidak terdengar lagi tangisan dari Nina, kuberanikan diri untuk menemui Nina. hal ini membuat kota yang telah kita bangun bersama menjadi hancur dan runtuh.
“Apakah benar itu anakmu?”
“iya”
“akhirnya aku mempunyai anak darimu, tapi bukan dari rahimku, kau tau betapa menyayatnya hati ini setelah mendengar kabar ini?kenapa kau sembunyikan ceritamu ini?”
“Maafkan aku”